Wacana Kepala Daerah Kembali Dipilih DPRD: Kemunduran Demokrasi atau Jalan Efisiensi Politik?

commons.wikimedia.org

Zahni Hafizh Atsari
Peneliti Mahasiswa Pusat Kajian Konstitusi, Perundang-Undangan, dan Demokrasi FH UNESA

Sejak pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsunZag dimulai pada tahun 2005, Indonesia telah memasuki babak baru dalam sejarah demokrasi lokal. Transformasi dari sistem pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi pemilihan langsung oleh rakyat bukan hanya perubahan teknis elektoral, melainkan simbol konkret dari perluasan ruang partisipasi masyarakat. Hal ini mencerminkan semangat reformasi yang menghendaki kekuasaan publik ditentukan langsung oleh rakyat.


Namun, dewasa ini Pilkada langsung kembali menghadapi tantangan dari beberapa pihak, wacana Pilkada kembali melalui DPRD kembali mencuat. Gagasan ini semakin menguat pasca putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang mewajibkan pemilu daerah dipisah maksimal dua setengah tahun dari pemilu nasional. Celah ini dimanfaatkan sebagian kalangan untuk mendorong kembali mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD dengan dalih efisiensi.

Efisiensi Biaya atau Pengerdilan Kedaulatan?

Dalam satu argumen utama yang diajukan oleh pendukung Pilkada oleh DPRD adalah soal biaya politik yang tinggi dalam Pilkada langsung. Dalam praktiknya, banyak calon kepala daerah harus mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk membiayai kampanye, operasional tim, hingga logistik elektoral lainnya. Hal ini seringkali berujung pada praktik korupsi, kolusi dan nepotisme setelah terpilih, sebagai "ganti" ongkos politik yang telah dikeluarkan.

Menyederhanakan problem demokrasi lokal hanya pada persoalan biaya adalah kurang tepat. Demokrasi memang tidak murah, tetapi bukan berarti harus dikorbankan demi efisiensi dan efektivitas semata. Problem biaya politik tinggi bukan terletak pada sistem pemilihannya, melainkan pada lemahnya penegakkan regulasi pendanaan politik, kurangnya transparansi, dan minimnya edukasi politik kepada masyarakat. Bahkan, dalam sistem Pilkada oleh DPRD, praktik transaksi politik bisa jadi lebih sukar diawasi, karena berpindah dari ruang publik ke ruang privat para elit. Biaya politik tidak akan hilang, hanya berpindah dari rakyat ke partai politik dan anggota dewan.

Legitimasi Politik dan Fungsi Pengawasan

Pilkada langsung menjamin legitimasi yang bersumber pada kedaulatan rakyat. Kepala daerah yang dipilih secara langsung memiliki mandat politik yang kuar dan independen untuk menjalankan kebijakan publik. Dalam konteks ini, kepala daerah bukan hanya figur administratif, tapi juga figur politik yang bertanggungjawab langsung kepada masyarakat di derahnya.

Sebaliknya, jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, legitimasi tersebut menjadi delegatif, bukan langsung. Ini menciptakan hubungan kuasa yang rawan konflik kepentingan antara legislatif dan eksekutif daerah. Bagaimana mungkin DPRD menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap kepala daerah yang mereka pilih sendiri? Check and balances akan kabur, karena hubungan yang dilandasi transkasi, bukan pemisahan kekuasaan yang sehat.

Lebih lanjut, sistem ini berpotensi melemahkan prinsip desentralisasi yang menjadi landasan utama otonomi daerah. Bukan hanya sekadar pemindahan urusan pemerintahan dari pusat ke daerah, tetapi juga pemberian hak rakyat untuk menentukan pemimpin daerahnya sendiri. Dengan kata lain, mengembalikan pilkada kepada DPRD adalah langkah mundur dari semangat desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri.

Memperbaiki, Bukan Menghilangkan

Tidak ada sistem politik yang sempurna. Pilkada langsung tentu memiliki banyak tantangan, mulai dari maraknya politik uang, kampanye berbasis identitas, hingga konflik horizontal di masyarakat. Namun solusi dari persoalan tersebut bukanlah dengan menghapus hak rakyat, melainkan memperkuat institusi pengawasan, regulasi pendanaan politik, serta pendidikan politik kepada masyarakat.

Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga partai politik harus diperkuat fungsinya sebagai pilar demokrasi yang sehat. Pendanaan kampanye harus dibuat transparan dan akuntabel. Di sisi lain, masyarakat juga harus diberdayakan agar dapat turut serta mengawasi dan mengkritisi jalannya pilkada.

Demokarasi Tak Bisa Dipangkas Demi Praktikalitas

Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD sejatinya adalah sebuah kemunduruan demokrasi. Ia bukanlah solusi atas kompleksitas pilakda langsung, melainkan upaya membatasi ruang partisipasi rakyat dalam memilih pemimpinnya. Dalih efisiensi, efektivitas atau sinkronisasi kelembagaan tidak bisa dijadikan alasan untuk memangkas hak rakyat untuk menentukan pemimpin daerahnya.

Demokrasi memanglah rumit dan mahal, tapi justru karena itulah ia berharga. Menyerahkan kembali pemilihan kepada segelintir elit adalah bentuk pengingkaran terhadap semangat reformasi dan otonomi daerah.

Demokrasi hanya akan tumbuh jika dirawat, bukan dikurangi. Kita harus memilih: apakah ingin demokrasi yang hidup dan partisipatif, atau sistem politik yang praktis tapi dikendalikan segelintir elit?

Artikel ini telah tayang di thecolumnist.id pada 2/08/2025

0 Komentar

Terbaru

Together, Stronger, For a Better Nation